Thursday, December 6, 2007

Retno yang belum Purnama,..



Namanya Retno Purnamasari (12), sesuai dengan namanya, kedua orang tuanya tentu menginginkan Retno tumbuh menjadi anak yang pintar, cantik dan rupawan seperti bulan purnama. Namun Tuhan agaknya masih berkehendak lain.


Semenjak usia 3 tahun, Retno menderita tumor dimata kirinya. Ayah Retno, Margono (43) yang berprofesi sebagai penarik becak dan Ibunya Tukirah (40) tukang sablon, sama sekali tidak memiliki biaya untuk pengobatan Retno. Praktis kini hari-hari Retno hanya diisi dengan berbaring saja di satu-satunya tempat tidur berkasur tipis tanpa alas yang juga difungsikan sebagai tempat menerima tamu jika ada yang berkunjung.


Untuk sekedar merasakan hangatnya sinar mentari dan menghirup segarnya udara pagipun kini Retno enggan. Ia lebih memilih tiduran di ruangan pengap seharian daripada diejek sama teman-teman sebayanya. Sekolah Retno hanya sampai kelas 2 SD saja, Ia malu jika teman-temannya menyeringai jijik saat menatap mukanya. Sama sekali tidak ada teman yang mau berdekatan dengannya.

Sebagai orang tua, Margono dan Tukirah bukannya tanpa usaha. Dulu sewaktu mata kiri Retno mulai menunjukkan gejala pembesaran, Margono telah membawanya ke salah satu Rumah Sakit milik Pemerintah di Semarang. Petugas rumah Sakit hanya melihat kondisi Retno sebentar, kemudian berujar "Alat Rumah Sakit tidak ada,..kurang satu pak! alatnya!."


Sedikit kecewa, Margono lantas membawa Retno ke rumah sakit mata cukup terkenal di Semarang. Dokter sempat memberikan diagnosa bahwa Retno terkena penyakit tumor dan harus segera dioperasi. Namun lagi-lagi petugas rumah sakit memberikan keterangan bahwa "Alat rumah sakit tidak kumplit... kurang satu!"


Margonopun tidak lekas putus asa, segera ia membawa Retno putrinya ke Rumah Sakit paling besar milik pemerintah di Semarang. Di Rumah Sakit dengan nama mentereng karena sederet prestasinya di dunia penyembuhan ini, Margono menggantungkan harapan terakhirnya. Namun Jangankan diperiksa oleh Dokter, dilayani oleh petugas Rumah Sakitpun tidak. Lebih dari setengah hari Margono dan Retno dibiarkan begitu saja di loket pendaftaran.


Akhirnya menjelang ashar Margono membawa pulang putrinya yang mulai terlihat sayu tanpa penanganan. Berhari-hari Margono memikirkan kejadian yang menimpa ia dan putri kecilnya.Rumah Sakit yang telah cukuplama berdiri masak tidak memiliki alat untuk menyembuhkan putrinya.

"Alat apa yang kurang..?"
"Uang!!" ya....Uang...

alat yang kurang ternyata adalah uang!!"


akhirnya Margono menemukan jawabannya... Uang, alat pembayaran yang memang tidak ia miliki.


Margono kini benar-benar pusing dengan keadaan keluarganya. Pasalnya pihak pemerintah setempat telah beberapa kali mengingatkannya agar rumah berukuran 3,5x2,5 meter yang ia tempati bersama istri dan 6 anaknya segera dibongkar. Rumah kecil tersebut berdiri diatas saluran air disisi jalan Bintoro Kecil RT 02/08, Gayamsari, Semarang yang menurut peraturannya memang tidak boleh didirikan bangunan apapun. Dengan kata lain Rumah satu ruangan yang didirikan Margono illegal.


kini margono tak tahu lagi harus berbuat apa,..

sedikit "senyum" dan elusan dikepala Retno, tentu akan sangat meringankan beban keluarga Margono.

2 comments:

Heru Sri Kumoro said...

lek. kenapa bukan tulisan ini yang keluar di koran. tulisan ini lebih mengena, menggugah simpati, dan dramastis.

salam
kum

Riri said...

Ini merupakan satu dari sekian ribu kasus diskriminatif pelayanan kesehatan. Sepertinya kita sudah ngga bisa berharap banyak dilayani oleh dokter dan rumah sakit yang vote to the poor.

Contohnya, setiap kita berobat, pasti seringkali dokter meresepkan jenis obat tertentu yang merujuk pada satu pabrik saja. Peresepan obat itu tak jarang hanya karena dokter tersebut berhutang budi pada pabrik tersebut. Ada target penjualan yang musti dicapai.

Ada uang, ya baru dokter akan sayang. Sungguh memperihatinkan. Nice writing :)